Kekerasan Fisik: Luka yang Tak Selalu Terlihat
![]() |
| (https://pin.it/55bMudfgF) |
Kekerasan fisik sering kali dianggap hal sepele, padahal dampaknya bisa sangat dalam. Luka di tubuh mungkin bisa sembuh, tetapi luka di hati dan pikiran sering kali menetap jauh lebih lama. Di sekitar kita, masih banyak orang yang menjadi korban kekerasan fisik baik di rumah, di sekolah, maupun di tempat kerja. Padahal, setiap manusia berhak merasa aman, dihargai, dan dicintai tanpa harus hidup dalam rasa takut.
Kekerasan bukanlah bentuk kasih sayang. Kekuatan bukan alasan untuk melukai. Saat tangan digunakan untuk menyakiti, saat suara berubah menjadi ancaman, di situlah nilai kemanusiaan mulai pudar.
Menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.
(Sumber: Badan Pusat Statistik & Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, SPHPN 2024)
Data dari Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 juga mencatat lebih dari 12.000 kasus kekerasan fisik hanya dalam satu tahun, sebagian besar terjadi di dalam rumah tangga tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman bagi perempuan dan anak.
(Sumber: Komnas Perempuan – Catatan Tahunan 2024)
Sementara itu, sistem Simfoni-PPA milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat lebih dari 25.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, kekerasan fisik menjadi salah satu bentuk yang paling sering dilaporkan.
(Sumber: KemenPPPA – Data SIMFONI-PPA 2024)
Angka-angka ini menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah persoalan pribadi semata, melainkan masalah sosial yang membutuhkan perhatian dan aksi nyata dari semua pihak.
📊 DATA BENTUK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI INDONESIA (KOMNAS PEREMPUAN, 2024)
(Sumber: Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jembrana, 2025)
Salah satu kasus yang mencuri perhatian terjadi pada April 2025. Seorang remaja perempuan berusia 16 tahun di Kecamatan Negara menjadi korban penganiayaan oleh ayah kandungnya sendiri. Menurut laporan dari Denpost.id, kekerasan bermula dari pertengkaran kecil ketika korban menolak berhenti sekolah. Sang ayah, yang saat itu sedang mabuk, memukul anaknya berulang kali menggunakan sabuk hingga tubuhnya penuh luka lebam.
Beruntung, korban berhasil diselamatkan dan kini mendapatkan pendampingan psikologis di rumah aman. Sementara pelaku tengah menjalani proses hukum.Kasus ini mengguncang masyarakat Jembrana. Banyak yang tak percaya bahwa di balik rumah yang tampak biasa, ada kekerasan yang begitu kejam. Tapi begitulah kenyataannya kekerasan bisa terjadi di mana saja, bahkan dari tangan yang seharusnya penuh kasih.
Sebagai remaja, kisah ini terasa begitu dekat. Kita tumbuh di tengah harapan dan tekanan, di antara keinginan untuk mandiri dan keinginan orang tua untuk mengatur jalan hidup kita. Namun, sekeras apa pun perbedaan pendapat, kekerasan tak pernah bisa menjadi jalan keluar.
Dari kasus ini, kita belajar bahwa kasih tidak boleh berubah menjadi luka. Bahwa pendidikan dan impian bukan sesuatu yang harus dihancurkan oleh amarah. Kita, generasi muda, harus berani melawan kekerasan bukan dengan kebencian, tetapi dengan kesadaran.
Kita bisa mulai dari hal sederhana, berani berbicara jika melihat kekerasan, mendengarkan teman yang sedang terluka, dan menolak membenarkan tindakan kasar dengan alasan “itu demi kebaikan.” Karena di balik setiap luka di tubuh, ada hati yang menjerit minta dimengerti. Kasih seharusnya menyembuhkan, bukan melukai. Dan dari kisah remaja itu, semoga kita belajar bahwa tidak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan kekerasan terutama kepada mereka yang sedang berjuang untuk masa depannya.


Kekerasan bukanlah bentuk kasih sayang yaa stop kekerasan
BalasHapus