Refleksi Membaca Laut Bercerita: Tiga Puluh Menit Bersama Biru Laut

 



Sebelum aku mulai bercerita tentang bagian yang kubaca, sedikit tentang buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Novel ini mengambil latar masa kelam Indonesia pada akhir tahun 1990-an, saat banyak aktivis mahasiswa diculik karena keberaniannya menyuarakan keadilan dan perubahan. Ceritanya dibagi menjadi dua bagian besar, bagian pertama menceritakan kisah dari sudut pandang Biru Laut, seorang aktivis muda yang idealis, sedangkan bagian kedua menceritakan perjuangan keluarga dan sahabatnya yang mencari kebenaran atas hilangnya Biru. Buku ini tidak hanya tentang politik, tetapi juga tentang kemanusiaan, kehilangan, dan cinta yang tetap bertahan di tengah kekerasan.


Ada sesuatu yang tenang tapi juga menyesakkan setiap kali aku membuka halaman-halaman Laut Bercerita. Dari awal, kisah ini terasa seperti bisikan dari masa lalu, tentang kehilangan, perjuangan, dan harapan yang dipaksa bungkam. Selama tiga puluh menit pertama aku membaca, aku seolah tenggelam dalam arus cerita yang lembut tapi membawa luka yang dalam. Kata demi kata seperti ombak yang pelan-pelan menyapu pantai, membawa kenangan tentang orang-orang yang hilang karena memperjuangkan sesuatu yang mereka yakini benar.


Sampai di bagian ketika Biru Laut dan kawan-kawannya mulai ditangkap, suasana cerita berubah drastis. Ada ketegangan yang pekat, udara yang tiba-tiba terasa sempit. Aku bisa merasakan rasa takut yang diam-diam menyusup di antara kalimat, juga keberanian yang tidak sempat diucapkan. Biru dan teman-temannya bukan hanya sekumpulan aktivis, mereka anak muda yang mencintai kebebasan, yang punya tawa, mimpi, dan rasa rindu yang manusiawi. Penangkapan itu bukan sekadar peristiwa politik, tapi juga simbol tentang bagaimana suara dan kemanusiaan bisa direnggut dalam sekejap.


Di bagian ini, aku merasa seperti ikut menyaksikan bagaimana idealisme bertemu dengan kekerasan, dan bagaimana cinta terhadap negeri bisa berujung pada penderitaan. Namun di balik semua itu, ada keindahan yang ganjil, keindahan dari keberanian, dari kesetiaan terhadap nilai-nilai yang diyakini.


Selama tiga puluh menit membaca, aku tidak hanya mengikuti jalan cerita, tapi juga merenung. Tentang bagaimana sejarah bisa berulang, tentang betapa mahalnya kebebasan berbicara, dan tentang mereka yang pernah berani bersuara ketika dunia memilih diam. Laut Bercerita bukan hanya novel tentang masa lalu, tapi juga cermin yang memantulkan pertanyaan untuk masa kini, apakah kita masih berani memperjuangkan kebenaran, atau justru ikut tenggelam dalam arus yang menenangkan tapi membungkam?

Komentar

  1. Kebebasan berbicara dengan tanggung jawab... ihhh keren lanjut deh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

About Mirah!

Kekerasan Fisik: Luka yang Tak Selalu Terlihat